Daftar Isi

Dear Readers,

First of all, terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca blog ini, mungkin kalian masih bingung ini ceritanya tentang apa sih? Well, mungkin kalian bisa baca Introduction dulu baru paham konsep sebenarnya. Tapi kalau kalian bukan diatas 18 tahun, ada baiknya berhenti baca dan cepat tutup blog ini yaa!!

Saya rekomen Raindrop Rye Part 1 dulu kalian baca, itu semacam teaser story yang bakalan terjadi dalam hidup karakter utamanya. Hope you guys enjoy it!!

WARNING: this fiction contains non-consensual, aka rape. If forced sex ain’t your thing, please leave immediately now.

Pelangi di Kantor Part 2

Tibalah Sherry di depan pintu ruangan yang tertulis nama Luisa Wine di depannya. Resepsionis itu mengetuk pintu dan membukanya dengan perlahan, Sherry benar-benar kaget ketika akan memasuki ruangan itu.

“Tapi gak bisa begitu dong. Kita udah ngorbanin banyak hal untuk proyek ini, lo harus terima konsekuensinya,” bentak wanita yang ditemui Sherry di lift tadi kepada Luisa Wine, atasan yang menerima Sherry di kantor ini. Luisa terdiam membisu di kursinya saat diteriaki oleh wanita itu yang berdiri tepat disampingnya.

“Maaf Bu, waktunya nggak tepat yaa?” ungkap resepsionis tadi memecah kesunyian yang terjadi diantara mereka. Lalu, kedua wanita yang sedang berbicara tadi menatap ke arah kami berdua.

“Nggak apa-apa. Silahkan masuk.” kata Luisa mempersilahkan masuk diriku dan kemudian resepsionis tadi memohon ijin meninggalkan kami bertiga.

“Sherry yaa? Kenalkan ini Rye Grain, partner kerja kamu nanti.” ujar Luisa memperkenalkan kami berdua. Namun, Sherry masih tertegun menatap wajah Rye yang sedikit judes dan jutek padanya. Rye menatapnya dengan sinis lalu kembali menarik perhatiannya pada Luisa.

“Lo tahu kan kalau gue kerja sendiri, lagian omongan kita belum selesai.” ujar Rye pada Luisa dan perlahan menjauh darinya. Saat wanita itu mendekati Sherry yang berdiri terpaku di depan pintu, Sherry menelan ludah dalam-dalam dan menyodorkan tangannya seakan ingin berkenalan dengan wanita itu. Rye menatap gestur tangan Sherry.

“Sher-Sher…”

“Minggir.” perintah Rye. Tatapan tajamnya membuat Sherry sempat berkeringat dingin dan terpaku seperti patung di tempat.

“Lu budek yaa? Gue bilang minggir. Lo ngalangin jalan aja!” bentak Rye memecah keheningan di antara mereka. Sherry jelas tidak terima dengan kata-katanya, dalam hatinya dia meneriaki wanita yang satu ini betapa berengsek sikapnya. Namun, wajah arogannya membuat Sherry bergidik mundur. Dia tahu kalau wanita ini sedang dalam mood yang buruk, jadi lebih baik jangan menyulut api di antara mereka di hari pertamanya bekerja.

Sherry memperhatikan Rye meninggalkan ruangan Luisa dalam keadaan kesal. Namun sebelum Rye keluar, dia melirik mata Sherry dengan tatapan yang menakutkan dan sinis.

“Cih, lo pikir gue takut sama tatapan lo?” gumam Sherry dalam benaknya.

“Sudah, jangan diambil hati. Rye memang selalu bersikap seperti itu sama orang baru, apalagi saat dia tahu kalau posisinya sekarang akan digantikan oleh anak baru.” ujar Luisa seraya menyulutkan rokok di sela-sela jarinya. Namun, kata-kata itu mengagetkan Sherry yang ternyata dirinya akan menggantikan posisi Rye di perusahaan itu.

“Serius Bu?” tanyanya memperhatikan Luisa Wine, atasan Sherry yang berusia 30-an tahun, berambut panjang sepunggung, berpenampilan seksi dengan lipstik merah di bibirnya sungguh menambah kecantikkannya. Sama seperti Rye, Luisa juga memiliki tatapan mata yang tajam seakan membuat bulu kuduknya berdiri.

“Panggil saja dengan namaku, saya nggak suka dipanggil dengan sebutan Ibu. Memangnya saya setua itu?” katanya sambil terus menghisap rokoknya.

“Maaf, Bu… Maksud saya Luisa, tapi rasanya nggak enak juga panggil nama. Nanti dikira tidak hormat sama rekan lainnya.” ungkapnya sedikit keberatan.

“Kalau begitu, Senpai saja. Anak-anak yang lain menyebut saya dengan embel Senpai.” kata Luisa dengan senyum simpulnya. Entah kenapa, Sherry juga merasa keberatan dengan sebutan Senpai yang artinya kakak senior.

“Oh iya, kalau begitu kamu bisa segera bekerja kan?” tanyanya. “Eh i-iya, saya bisa mulai kerja hari ini.” kata Sherry membulatkan tekadnya.

“Okeh, kalau ‘gitu tolong kamu temui Rye yang tadi. Dia ada tugas yang perlu kamu kerjakan.” perintah Luisa menyuruh Sherry menemui Rye, wanita yang menyeramkan dan sangat tidak ingin ditemui olehnya saat ini.

“Rye? Ce-cewek yang tadi?” katanya terkejut.

“Iya, gak usah takut. Dia gak gigit kok, tampangnya saja menakutkan tapi kalau sudah kenal dia baik. Tapi…,” kata Luisa ragu meneruskan.

“Ta-tapi apa?” tanya Sherry penasaran.

“Hmm, nggak apa-apa. Tanya saja tugas-tugas yang perlu kamu kerjakan padanya, maaf tapi saya masih ada urusan yang perlu saya kerjakan” ungkap Luisa. Pernyataan yang ragu-ragu dari Luisa memang sedikit membuat Sherry penasaran, ada apa sebenarnya dengan wanita bernama Rye Grain.

***

Baca lebih lanjut

Pelangi di Kantor Part 1

Sherry Mistelle, nama yang cukup aneh bila tidak ada yang mengetahui artinya. Usianya 24 tahun dan tingginya sekitar 167 cm, dengan tubuh yang ramping Sherry termasuk berparas cantik dan berambut panjang bergelombang di ujungnya. Tidak bisa dipungkiri memiliki ibu yang berdarah Inggris-Jepang mengalir dalam dirinya, membuat semua orang selalu saja terpaku pada wajah polos manisnya. Sherry cukup pintar, dengan lulusan cum laude salah satu falkutas komunikasi yang terbesar di Jakarta tahun lalu. Setelah melalui proses interview yang cukup panjang, hari ini tanggal 1 Juni 20XX mulailah perjalanannya untuk bekerja pada salah satu perusahaan media yang cukup besar di bilangan Jakarta Selatan.

Rainbow Entertaiment Inc.

Gedung berlantai 30 menjulang tinggi di depan matanya, Sherry dengan mantap berdiri di depan gedung tersebut berkata dalam hati dia menginginkan hidup baru sebagai karyawan swasta yang bisa berkontribusi memberikan ide kreatif terhadap perusahaan Rainbow Ent.

“Hari pertama di kantor, semoga saja bisa gue lewati tanpa masalah.” kata Sherry memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam gedung tersebut yang dijaga ketat oleh satpam dan bila ingin masuk ke dalam gedung dirinya harus memiliki ID card yang memang belum dimilikinya saat ini. Tentu proses yang sedikit ribet pikirnya karena ia harus menukarkan identitasnya demi kartu visitor gedung kantor.

Sherry melihat jam pada ponselnya, dan benar-benar kaget dirinya begitu mengetahui kalau tinggal beberapa menit lagi dia akan telat masuk kantor. “Astaga, hari pertama masa telat. Pak, makasih ID-nya.” sahutnya pada satpam di lobi kantor. Dengan segera Sherry bergegas lari melewati scan ID pintu masuk menuju lift yang dilihatnya akan segera tertutup.

“Tunggu, tahan liftnya.” teriaknya dengan cepat. Namun tanpa diduga Sherry tersandung dan tak bisa menahan berat tubuhnya ketika melewati pintu masuk lift tersebut.

Sherry dengan cepat menutup mata karena sudah membayangkan dirinya akan terjatuh mengenai kepala, dia tahu kalau dirinya akan terlihat bodoh didepan orang-orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia menahan rasa sakit menunggu dirinya akan terantuk pegangan pinggir besi dalam lift, namun entah kenapa dia tidak merasakan apa pun setelah beberapa lama menutupi matanya.

“Udah selesai meluknya?”

Sherry membuka matanya pelan, kini dia terperanjat kaget ketika mendengar suara orang yang didepannya. Ternyata tanpa disengaja, Sherry terjatuh di pelukan seorang wanita muda berusia 30-an berambut model bob sebahu, wajahnya sangat cantik namun matanya membuat Sherry bergidik takut terpaku menatapnya.

Tanpa disadari, Sherry masih memeluk wanita muda tersebut, sementara orang-orang lain di lift menahan rasa geli menatap mereka berdua. “Eh, maaf. Maaf ya, saya nggak sengaja tadi kesandung.” Sherry menjelaskan, segera dia melepas pelukannya dan merasa cukup malu atas kejadian yang dialaminya. Namun, kebencian begitu tampak jelas di wajahnya yang judes. Baru saja hari pertama masuk, Sherry merasa kalau dirinya sudah membuat musuh baru dalam satu gedung dirinya bekerja. Ini benar-benar pertanda buruk baginya saat akan bekerja di perusahaan baru.

Dentingan bel lift membuka tutup hingga menyisakan hanya mereka berdua di dalam lift. Tanpa terasa ia tersadar kalau dirinya hanya bersama wanita yang berdiri di depannya, dan yang lebih mengagetkan lagi dirinya akan turun di lantai yang sama dengan wanita tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam diri Sherry karena memikirkan siapa sebenarnya wanita yang berdiri dengan tegas menyilangkan tangannya menatap pintu lift yang belum juga kunjung terbuka.

“Aduh, siapa sih wanita ini? Mudah-mudahan bukan atasan gue.” pikir Sherry merasa cemas dalam benaknya.

Sherry terus saja terpaku menatapnya, memperhatikan wanita cantik yang sepertinya pernah dilihatnya namun mungkin itu hanya perasaannya saja. “Astaga, ‘ga sopan banget sih gue ngeliatin terus ntar dikira stalker lagi.” gumam Sherry dalam hatinya.

“Ma-ma…”

TING, pintu lift tiba-tiba saja terbuka di lantai 25. Saat dirinya akan mengatakan terima kasih, wanita itu sudah melesat pergi keluar dari lift. Meninggalkan Sherry yang masih bengong saja di dalam lift, tersadar ketika pintu lift akan segera tertutup Sherry berusaha secepatnya menahan dengan kedua tangannya.

“Akh, kampret ampir aja ketutup. Ya ampun, telat lagi bilang terima kasih. Udah pergi kemana yaa tuh cewek?” gumamnya seraya melihat kiri kanan lorong hall kantor yang sepi dari peradaban manusia.

“Bodo amat deh, gue udah telat banget nih hari pertama kerja.” setelah memperhatikan jam pada ponselnya, Sherry secepatnya menuju kantor Rainbow Entertainment yang berada di ujung kanan lorong dari lift.

***

Baca lebih lanjut

Raindrop Rye Part II

Kurasakan raut wajahnya menjadi marah, memang seharusnya aku tidak mengatakan hal yang bodoh dengan posisiku yang tak bisa melawan seperti ini karena sekarang kulihat hembusan napasnya semakin berat, dia duduk terdiam diatas perutku dengan kedua tangannya diatas rongga rusukku. Matanya tertuju padaku terus menatapiku dengan tajam, hal yang membuatku semakin takut dan ngeri untuk menatapnya balik. Kutelan ludah dalam-dalam dan berkata, “Maaf.”

“Sekali lagi gue dengar lo bilang kata-kata biadab. Oh, bukan nikmat lagi yang lo rasakan, tapi rasa sakit yang menjalar dari tubuh lo.”
Ancaman Rye membuatku membisu kembali, ketakutan melanda setiap jengkal tubuhku dan posisi seperti ini adalah ancaman buatku. Tentu saja, kesadisan Rye tak akan berhenti sampai disini saja tapi aku tak bisa terus terlihat bodoh seperti ini. Satu-satunya alat yang bisa melepasku dari sini adalah otak dan lidahku yang bisa bebas berkata-kata.

“Heh, jadi lo beneran lupa ya siapa yang lo temui dua hari sebelum kita kenalan? Memang sih mabuk itu bisa membuat orang tidak berpikiran jernih, lo memanfaatkan gue dan sekarang gue memanfaatkan lo dengan senang hati.” nada senang tersirat dari kata-katanya. Namun, hal yang membuatku kaget adalah perkataan yang mengatakan kalau waktu itu aku mabuk dan mencium dirinya secara tidak sadar.

“Mabuk? Gue benar-benar gak ingat, sumpah! Maaf kalau gue memperlakukan lo secara tidak adil, jadi gue mohon lepasin. Kita bisa bicarakan ini baik-baik kan?” kataku memohon dengan mata berbinar.

“Kalau saja aku bisa memelukmu dengan erat…,” kataku meyakinkan kalau aku bukanlah ancaman baginya.

“Melepasmu? Gak salah? Gue itu tahu banget siapa diri lo, yang ada gue bisa mati di tangan lo! Bahkan salah satu tangan lo aja lepas, sudah pasti lo ga akan ragu-ragu memukul gue,” katanya menjelaskan. Memang benar, dia tidak salah. Salah satu tangan ini lepas, bukan pelukan yang terjadi tapi akan kuhajar dirinya dengan tonjokkan maut sampai babak belur wajahnya. Ya, tidak percuma punya black belt tae-kwon-do, bisa kuhajar dirinya dengan cepat.

“Sialan, jadi lo udah tahu background diri gue ya? Kenapa? Jadi lo takut menghadapi gue?” kataku serta senyum sinis kulontarkan saat melihat matanya, entah kenapa kata-kata mengintimidasi dan sarkastik yang keluar dari mulutku.

“Takut? Hahaha, kayaknya lo belum belajar sama posisi lo yang sekarang ya?”
“Gue tahu akal bulus lo gak akan mempan terhadap gue, makanya gue gak akan berbuat hal yang bodoh sampai gue harus melepas ikatan lo. Sekarang udah cukup basa-basi-nya, dari tadi ngemeng melulu. Pemirsa pasti bosan lihat kita nggak ngapa-ngapain,” ujarnya yang langsung diikuti dengan gerakan mengambil toples madu yang tadinya ditaruh di meja sebelah tempat tidurnya. Dan di momen seperti ini dengan sekejap kulihat masih ada cangkir teh yang tadi membuatku tertidur.

“Lo tahu madu ini buat apa?”

“Buat dimakanlah. Buat di-apa-in lagi emangnya?” ketusku dengan sinis dan masih tidak mengerti mau apa dia bawa-bawa madu segala.

Kulihat dia membuka toples madu itu secara perlahan sambil terus menatap mataku penuh intimidasi, hal yang semakin membuatku bergidik takut adalah ketika dirinya membuka handuk yang dikenakannya dan membuatku harus menatap payudaranya yang cukup besar. Semakin horror saja situasi yang kualami saat ini, aku benar-benar bingung dengan apa yang akan dilakukannya.

Terpaku dengan keadaan seperti ini, tak kusangka wanita yang baru beberapa bulan kukenal ini tega melakukan hal yang seperti ini padaku.

“Rye, hentikan semua ini. Kita sama-sama cewek, apa lo nggak merasa jijik?” kataku mengingatkan kalau kita sama-sama memiliki payudara dan sama kodratnya sebagai perempuan.

“Kenapa enggak? Toh, waktu itu lo juga gak jijik kan mencium diri gue?” katanya seraya meneteskan sedikit demi sedikit madu yang ada di toplesnya di atas payudaraku dan seluruh dadaku. Aku sedikit bergidik dan terkejut dengan dinginnya madu tersebut.

“Waktu itu gue mabuk, mana gue inget orang yang gue cium. Gue juga ga inget kalau yang gue cium itu lo!”

Kuharap Rye mengerti penjelasanku, kulihat Rye tidak membalas perkataanku. Lalu, Rye menaruh toples madu itu kembali di mejanya setelah sebagian besar terbuang percuma di tubuh ini.
Aku semakin merasa geli dan bulu romaku berdiri mendapati perlakuan buruk seperti ini, mimpi buruk apa yang kualami semalam. Terbesit dalam pikiranku kalau memang pantas diriku menerima perlakuan ini, mungkin ini balasan yang “adil” dari Tuhan kalau diriku sudah memperlakukan teman-temanku secara tidak adil karena aku seorang egoistik maniak yang sering memperalat orang lain demi mencapai tujuan yang menguntungkan diriku.

***

Baca lebih lanjut

Raindrop Rye Part I

Malam itu dengan terpaksa aku harus menginap di apartemen Rye yang terletak di salah satu bilangan Jakarta Selatan, dengan hujan yang cukup deras mengguyur Jakarta sore itu, Rye sudah cukup baik mengijinkan diriku berteduh dan mandi di apartment-nya. Aku sendiri belum lama mengenal Rye dengan dekat, yang kutahu dia tinggal sendirian dan jarang berbicara mengenai hal pribadi dirinya. Aku juga nggak mungkin mengorek-orek hal yang bukan urusanku, pikiranku sudah cukup pusing dengan beban yang ada dan banyak sekali tugas kantor yang menanti diriku besok.

“Terima kasih ya bajunya, maaf kalau sedikit merepotkan diri lo,” kataku sehabis mandi yang hanya memakai sehelai handuk putih miliknya.

“Nyantai aja kalik, tuh teh hangat buat lo,” ujarnya seraya menunjuk teh hangat yang mengepul di atas meja sebelah tempat tidurnya. Kulihat dirinya masih duduk di tepi tempat tidur dan memperhatikanku sambil tersenyum simpul yang membuatku sedikit curiga dan lirikan matanya membuatku sedikit bergidik geli, entah apa yang ada di pikiranku. Seharusnya aku tidak berpikiran yang aneh tentang dirinya, wanita bermata tajam itu sudah cukup baik memberiku tempat berteduh di tengah-tengah hujan deras ini.

Cangkir teh itu kuambil dengan hati-hati, kulihat Rye mengelus-elus sisi sebelah tempat tidurnya dan menyuruhku duduk di sampingnya. “Sini duduk, lo kan capek abis kerja tadi.”

“Makasih ya Rye atas keramahtamahan lo. Gue ga tau harus kemana kalau lo gak ada.” ujarku dengan hati-hati sembari duduk dan memegang cangkir di tangan kananku.

Dengan hati-hati kutiup cangkir teh yang cukup panas itu, bau harumnya benar-benar membuatku ingin segera mencicipinya. Tapi baru kusadari kalau disampingku Rye memperhatikanku dengan cukup serius dan sedikit membuatku bingung serta salah tingkah dibuatnya. Pandangannya membuatku seperti keringat dingin dan bulu kudukku berdiri karena dia benar-benar menatapku dengan tajam dan dalam. Sempat di pikiranku terlintas apakah ada yang salah denganku sehabis mandi tadi, apakah shampoo yang kupakai masih tertinggal atau tubuhku masih tercium bau keringat. Sungguh, pandangannya membuatku tidak nyaman sama sekali hingga membuat cangkir teh yang lama kupegang tidak jadi di minum olehku.

“Ry, ada yang salah emangnya? Daritadi meratiin terus. Emang sih gue cantik, jadi ga usah diliatin terus dong.” ujar diriku dengan konyol seraya menyeruput teh yang sudah hangat daritadi.

“Cantik sih makanya gue suka.” celotehan Rye yang dengan tenang membuatku langsung menyemburkan teh yang baru saja akan kutelan. Semburan itu sedikit tertumpah di lantai dan handuk yang kupinjam darinya. Astaga, handuk putihnya jadi berbekas noda teh yang kuminum. Segera dengan cepat handuknya kulap dengan tanganku yang lain, tapi masih terngiang apa yang dikatakan olehnya tadi.

“Maksud lo apaan sih?” kataku yang masih sedikit kaget dengan kata-katanya tadi. Baru saja aku akan bilang minta maaf atas tumpahan teh-nya, kudengar hal yang aneh terucap darinya.

“Enggak, gue bilang kalau lo cantik. Gak masalah kan kalau gue suka?” ucapnya sembari memegang pahaku dan mulai mengelusnya.

Ke-ngeri-an mulai menjalar dalam setiap jengkal tubuhku, pikiranku mulai bermacam-macam hingga membuatku sedikit marah dengan perlakuannya. Aku mulai mundur sedikit darinya dan kukatakan padanya dengan nada yang sedikit emosi.
“Lo apa-apaan sih? Sumpah enggak jelas banget.” Nada emosi itu tidak tertahankan lagi, apalagi Rye yang sudah bersikap aneh denganku. Sepintas, Rye sedikit mundur dan paham dengan wajah marahku yang tidak suka dengan tindakannya yang jelas memberiku rasa takut dan jijik.

Entah apa maksud Rye dengan berbuat seperti itu, lebih baik dengan cepat teh ini kuhabiskan dan segera mengganti baju karena tanpa kusadari aku belum memakai baju dari sehabis mandi tadi.
“Hujan reda gue balik yaa. Makasih atas…,” belum selesai kata-kata itu keluar, mataku berkunang-kunang dan pusing menjalar di otakku. Rasanya tubuh ini berat dan tidak bisa kuangkat, yang kutahu kegelapan muncul dihadapan dan kesadaranku mulai memudar perlahan.

***

Baca lebih lanjut