Pelangi di Kantor Part 2

Tibalah Sherry di depan pintu ruangan yang tertulis nama Luisa Wine di depannya. Resepsionis itu mengetuk pintu dan membukanya dengan perlahan, Sherry benar-benar kaget ketika akan memasuki ruangan itu.

“Tapi gak bisa begitu dong. Kita udah ngorbanin banyak hal untuk proyek ini, lo harus terima konsekuensinya,” bentak wanita yang ditemui Sherry di lift tadi kepada Luisa Wine, atasan yang menerima Sherry di kantor ini. Luisa terdiam membisu di kursinya saat diteriaki oleh wanita itu yang berdiri tepat disampingnya.

“Maaf Bu, waktunya nggak tepat yaa?” ungkap resepsionis tadi memecah kesunyian yang terjadi diantara mereka. Lalu, kedua wanita yang sedang berbicara tadi menatap ke arah kami berdua.

“Nggak apa-apa. Silahkan masuk.” kata Luisa mempersilahkan masuk diriku dan kemudian resepsionis tadi memohon ijin meninggalkan kami bertiga.

“Sherry yaa? Kenalkan ini Rye Grain, partner kerja kamu nanti.” ujar Luisa memperkenalkan kami berdua. Namun, Sherry masih tertegun menatap wajah Rye yang sedikit judes dan jutek padanya. Rye menatapnya dengan sinis lalu kembali menarik perhatiannya pada Luisa.

“Lo tahu kan kalau gue kerja sendiri, lagian omongan kita belum selesai.” ujar Rye pada Luisa dan perlahan menjauh darinya. Saat wanita itu mendekati Sherry yang berdiri terpaku di depan pintu, Sherry menelan ludah dalam-dalam dan menyodorkan tangannya seakan ingin berkenalan dengan wanita itu. Rye menatap gestur tangan Sherry.

“Sher-Sher…”

“Minggir.” perintah Rye. Tatapan tajamnya membuat Sherry sempat berkeringat dingin dan terpaku seperti patung di tempat.

“Lu budek yaa? Gue bilang minggir. Lo ngalangin jalan aja!” bentak Rye memecah keheningan di antara mereka. Sherry jelas tidak terima dengan kata-katanya, dalam hatinya dia meneriaki wanita yang satu ini betapa berengsek sikapnya. Namun, wajah arogannya membuat Sherry bergidik mundur. Dia tahu kalau wanita ini sedang dalam mood yang buruk, jadi lebih baik jangan menyulut api di antara mereka di hari pertamanya bekerja.

Sherry memperhatikan Rye meninggalkan ruangan Luisa dalam keadaan kesal. Namun sebelum Rye keluar, dia melirik mata Sherry dengan tatapan yang menakutkan dan sinis.

“Cih, lo pikir gue takut sama tatapan lo?” gumam Sherry dalam benaknya.

“Sudah, jangan diambil hati. Rye memang selalu bersikap seperti itu sama orang baru, apalagi saat dia tahu kalau posisinya sekarang akan digantikan oleh anak baru.” ujar Luisa seraya menyulutkan rokok di sela-sela jarinya. Namun, kata-kata itu mengagetkan Sherry yang ternyata dirinya akan menggantikan posisi Rye di perusahaan itu.

“Serius Bu?” tanyanya memperhatikan Luisa Wine, atasan Sherry yang berusia 30-an tahun, berambut panjang sepunggung, berpenampilan seksi dengan lipstik merah di bibirnya sungguh menambah kecantikkannya. Sama seperti Rye, Luisa juga memiliki tatapan mata yang tajam seakan membuat bulu kuduknya berdiri.

“Panggil saja dengan namaku, saya nggak suka dipanggil dengan sebutan Ibu. Memangnya saya setua itu?” katanya sambil terus menghisap rokoknya.

“Maaf, Bu… Maksud saya Luisa, tapi rasanya nggak enak juga panggil nama. Nanti dikira tidak hormat sama rekan lainnya.” ungkapnya sedikit keberatan.

“Kalau begitu, Senpai saja. Anak-anak yang lain menyebut saya dengan embel Senpai.” kata Luisa dengan senyum simpulnya. Entah kenapa, Sherry juga merasa keberatan dengan sebutan Senpai yang artinya kakak senior.

“Oh iya, kalau begitu kamu bisa segera bekerja kan?” tanyanya. “Eh i-iya, saya bisa mulai kerja hari ini.” kata Sherry membulatkan tekadnya.

“Okeh, kalau ‘gitu tolong kamu temui Rye yang tadi. Dia ada tugas yang perlu kamu kerjakan.” perintah Luisa menyuruh Sherry menemui Rye, wanita yang menyeramkan dan sangat tidak ingin ditemui olehnya saat ini.

“Rye? Ce-cewek yang tadi?” katanya terkejut.

“Iya, gak usah takut. Dia gak gigit kok, tampangnya saja menakutkan tapi kalau sudah kenal dia baik. Tapi…,” kata Luisa ragu meneruskan.

“Ta-tapi apa?” tanya Sherry penasaran.

“Hmm, nggak apa-apa. Tanya saja tugas-tugas yang perlu kamu kerjakan padanya, maaf tapi saya masih ada urusan yang perlu saya kerjakan” ungkap Luisa. Pernyataan yang ragu-ragu dari Luisa memang sedikit membuat Sherry penasaran, ada apa sebenarnya dengan wanita bernama Rye Grain.

***

Baca lebih lanjut

Pelangi di Kantor Part 1

Sherry Mistelle, nama yang cukup aneh bila tidak ada yang mengetahui artinya. Usianya 24 tahun dan tingginya sekitar 167 cm, dengan tubuh yang ramping Sherry termasuk berparas cantik dan berambut panjang bergelombang di ujungnya. Tidak bisa dipungkiri memiliki ibu yang berdarah Inggris-Jepang mengalir dalam dirinya, membuat semua orang selalu saja terpaku pada wajah polos manisnya. Sherry cukup pintar, dengan lulusan cum laude salah satu falkutas komunikasi yang terbesar di Jakarta tahun lalu. Setelah melalui proses interview yang cukup panjang, hari ini tanggal 1 Juni 20XX mulailah perjalanannya untuk bekerja pada salah satu perusahaan media yang cukup besar di bilangan Jakarta Selatan.

Rainbow Entertaiment Inc.

Gedung berlantai 30 menjulang tinggi di depan matanya, Sherry dengan mantap berdiri di depan gedung tersebut berkata dalam hati dia menginginkan hidup baru sebagai karyawan swasta yang bisa berkontribusi memberikan ide kreatif terhadap perusahaan Rainbow Ent.

“Hari pertama di kantor, semoga saja bisa gue lewati tanpa masalah.” kata Sherry memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam gedung tersebut yang dijaga ketat oleh satpam dan bila ingin masuk ke dalam gedung dirinya harus memiliki ID card yang memang belum dimilikinya saat ini. Tentu proses yang sedikit ribet pikirnya karena ia harus menukarkan identitasnya demi kartu visitor gedung kantor.

Sherry melihat jam pada ponselnya, dan benar-benar kaget dirinya begitu mengetahui kalau tinggal beberapa menit lagi dia akan telat masuk kantor. “Astaga, hari pertama masa telat. Pak, makasih ID-nya.” sahutnya pada satpam di lobi kantor. Dengan segera Sherry bergegas lari melewati scan ID pintu masuk menuju lift yang dilihatnya akan segera tertutup.

“Tunggu, tahan liftnya.” teriaknya dengan cepat. Namun tanpa diduga Sherry tersandung dan tak bisa menahan berat tubuhnya ketika melewati pintu masuk lift tersebut.

Sherry dengan cepat menutup mata karena sudah membayangkan dirinya akan terjatuh mengenai kepala, dia tahu kalau dirinya akan terlihat bodoh didepan orang-orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia menahan rasa sakit menunggu dirinya akan terantuk pegangan pinggir besi dalam lift, namun entah kenapa dia tidak merasakan apa pun setelah beberapa lama menutupi matanya.

“Udah selesai meluknya?”

Sherry membuka matanya pelan, kini dia terperanjat kaget ketika mendengar suara orang yang didepannya. Ternyata tanpa disengaja, Sherry terjatuh di pelukan seorang wanita muda berusia 30-an berambut model bob sebahu, wajahnya sangat cantik namun matanya membuat Sherry bergidik takut terpaku menatapnya.

Tanpa disadari, Sherry masih memeluk wanita muda tersebut, sementara orang-orang lain di lift menahan rasa geli menatap mereka berdua. “Eh, maaf. Maaf ya, saya nggak sengaja tadi kesandung.” Sherry menjelaskan, segera dia melepas pelukannya dan merasa cukup malu atas kejadian yang dialaminya. Namun, kebencian begitu tampak jelas di wajahnya yang judes. Baru saja hari pertama masuk, Sherry merasa kalau dirinya sudah membuat musuh baru dalam satu gedung dirinya bekerja. Ini benar-benar pertanda buruk baginya saat akan bekerja di perusahaan baru.

Dentingan bel lift membuka tutup hingga menyisakan hanya mereka berdua di dalam lift. Tanpa terasa ia tersadar kalau dirinya hanya bersama wanita yang berdiri di depannya, dan yang lebih mengagetkan lagi dirinya akan turun di lantai yang sama dengan wanita tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam diri Sherry karena memikirkan siapa sebenarnya wanita yang berdiri dengan tegas menyilangkan tangannya menatap pintu lift yang belum juga kunjung terbuka.

“Aduh, siapa sih wanita ini? Mudah-mudahan bukan atasan gue.” pikir Sherry merasa cemas dalam benaknya.

Sherry terus saja terpaku menatapnya, memperhatikan wanita cantik yang sepertinya pernah dilihatnya namun mungkin itu hanya perasaannya saja. “Astaga, ‘ga sopan banget sih gue ngeliatin terus ntar dikira stalker lagi.” gumam Sherry dalam hatinya.

“Ma-ma…”

TING, pintu lift tiba-tiba saja terbuka di lantai 25. Saat dirinya akan mengatakan terima kasih, wanita itu sudah melesat pergi keluar dari lift. Meninggalkan Sherry yang masih bengong saja di dalam lift, tersadar ketika pintu lift akan segera tertutup Sherry berusaha secepatnya menahan dengan kedua tangannya.

“Akh, kampret ampir aja ketutup. Ya ampun, telat lagi bilang terima kasih. Udah pergi kemana yaa tuh cewek?” gumamnya seraya melihat kiri kanan lorong hall kantor yang sepi dari peradaban manusia.

“Bodo amat deh, gue udah telat banget nih hari pertama kerja.” setelah memperhatikan jam pada ponselnya, Sherry secepatnya menuju kantor Rainbow Entertainment yang berada di ujung kanan lorong dari lift.

***

Baca lebih lanjut