Raindrop Rye Part I

Malam itu dengan terpaksa aku harus menginap di apartemen Rye yang terletak di salah satu bilangan Jakarta Selatan, dengan hujan yang cukup deras mengguyur Jakarta sore itu, Rye sudah cukup baik mengijinkan diriku berteduh dan mandi di apartment-nya. Aku sendiri belum lama mengenal Rye dengan dekat, yang kutahu dia tinggal sendirian dan jarang berbicara mengenai hal pribadi dirinya. Aku juga nggak mungkin mengorek-orek hal yang bukan urusanku, pikiranku sudah cukup pusing dengan beban yang ada dan banyak sekali tugas kantor yang menanti diriku besok.

“Terima kasih ya bajunya, maaf kalau sedikit merepotkan diri lo,” kataku sehabis mandi yang hanya memakai sehelai handuk putih miliknya.

“Nyantai aja kalik, tuh teh hangat buat lo,” ujarnya seraya menunjuk teh hangat yang mengepul di atas meja sebelah tempat tidurnya. Kulihat dirinya masih duduk di tepi tempat tidur dan memperhatikanku sambil tersenyum simpul yang membuatku sedikit curiga dan lirikan matanya membuatku sedikit bergidik geli, entah apa yang ada di pikiranku. Seharusnya aku tidak berpikiran yang aneh tentang dirinya, wanita bermata tajam itu sudah cukup baik memberiku tempat berteduh di tengah-tengah hujan deras ini.

Cangkir teh itu kuambil dengan hati-hati, kulihat Rye mengelus-elus sisi sebelah tempat tidurnya dan menyuruhku duduk di sampingnya. “Sini duduk, lo kan capek abis kerja tadi.”

“Makasih ya Rye atas keramahtamahan lo. Gue ga tau harus kemana kalau lo gak ada.” ujarku dengan hati-hati sembari duduk dan memegang cangkir di tangan kananku.

Dengan hati-hati kutiup cangkir teh yang cukup panas itu, bau harumnya benar-benar membuatku ingin segera mencicipinya. Tapi baru kusadari kalau disampingku Rye memperhatikanku dengan cukup serius dan sedikit membuatku bingung serta salah tingkah dibuatnya. Pandangannya membuatku seperti keringat dingin dan bulu kudukku berdiri karena dia benar-benar menatapku dengan tajam dan dalam. Sempat di pikiranku terlintas apakah ada yang salah denganku sehabis mandi tadi, apakah shampoo yang kupakai masih tertinggal atau tubuhku masih tercium bau keringat. Sungguh, pandangannya membuatku tidak nyaman sama sekali hingga membuat cangkir teh yang lama kupegang tidak jadi di minum olehku.

“Ry, ada yang salah emangnya? Daritadi meratiin terus. Emang sih gue cantik, jadi ga usah diliatin terus dong.” ujar diriku dengan konyol seraya menyeruput teh yang sudah hangat daritadi.

“Cantik sih makanya gue suka.” celotehan Rye yang dengan tenang membuatku langsung menyemburkan teh yang baru saja akan kutelan. Semburan itu sedikit tertumpah di lantai dan handuk yang kupinjam darinya. Astaga, handuk putihnya jadi berbekas noda teh yang kuminum. Segera dengan cepat handuknya kulap dengan tanganku yang lain, tapi masih terngiang apa yang dikatakan olehnya tadi.

“Maksud lo apaan sih?” kataku yang masih sedikit kaget dengan kata-katanya tadi. Baru saja aku akan bilang minta maaf atas tumpahan teh-nya, kudengar hal yang aneh terucap darinya.

“Enggak, gue bilang kalau lo cantik. Gak masalah kan kalau gue suka?” ucapnya sembari memegang pahaku dan mulai mengelusnya.

Ke-ngeri-an mulai menjalar dalam setiap jengkal tubuhku, pikiranku mulai bermacam-macam hingga membuatku sedikit marah dengan perlakuannya. Aku mulai mundur sedikit darinya dan kukatakan padanya dengan nada yang sedikit emosi.
“Lo apa-apaan sih? Sumpah enggak jelas banget.” Nada emosi itu tidak tertahankan lagi, apalagi Rye yang sudah bersikap aneh denganku. Sepintas, Rye sedikit mundur dan paham dengan wajah marahku yang tidak suka dengan tindakannya yang jelas memberiku rasa takut dan jijik.

Entah apa maksud Rye dengan berbuat seperti itu, lebih baik dengan cepat teh ini kuhabiskan dan segera mengganti baju karena tanpa kusadari aku belum memakai baju dari sehabis mandi tadi.
“Hujan reda gue balik yaa. Makasih atas…,” belum selesai kata-kata itu keluar, mataku berkunang-kunang dan pusing menjalar di otakku. Rasanya tubuh ini berat dan tidak bisa kuangkat, yang kutahu kegelapan muncul dihadapan dan kesadaranku mulai memudar perlahan.

***

Mata ini kubuka perlahan dan rasa pusing masih menjalar di otakku yang sedaritadi membuatku sakit kepala. Saat akan kucoba memegangi kepala, kusadari kedua tanganku terikat kuat di sisi-sisi jeruji besi tempat tidur dan hal lain yang kusadari mulutku terikat kuat dengan lakban yang membuatku tak mampu bersuara apapun. Dan hal lain yang kutakuti kulihat tubuhku telanjang, bisa kulihat dengan jelas tubuh ini tidak ditutupi dengan sehelai kain apapun. Kulihat kedua buah dadaku menjulang tinggi dan sedikit bulu-bulu halus di bagian intim menyeruak di tengah, baru kusadari salah satu kakiku terikat di ujung kanan tempat tidur ini. Sungguh, posisi ini membuatku panik dan takut yang teramat sangat, apa yang akan dilakukan wanita ini terhadapku? Apa kesalahan yang pernah kubuat padanya? Beragam pertanyaan terus berada di benakku.

Jangan, aku tidak boleh panik, ini sama sekali bukan situasi yang tidak boleh membuatku jatuh pada rasa kepanikan. Wanita ini bukan penentu nasibku, aku cerdas dan licik, tentu saja aku bisa lepas dari situasi ini dengan tenang. Kulihat sekeliling kamarnya, lampu yang redup menambah suasana ini begitu menakutkan dan mencekam. Kudengar sayup-sayup senandung kegembiraan terdengar jelas dari kamar mandinya. Kutahu sekarang wanita ini memang gila, aku takkan bisa lepas dari belenggunya bila tidak segera dengan cepat lepas dari ikatan ini.

“Jangan nakal yaa. Susah payah gue iket lo, jadi diem yang manis dong.” ucapannya sontak mengagetkanku yang sedari tadi berusaha melepaskan ikatan ini. Astaga, wanita ini sudah memperhatikanku dari tadi dan kulihat dirinya hanya mengenakan handuk yang tadi kupakai mandi karena noda teh itu masih menempel di bagian bawah handuknya.

TEH? Sialan, saat ini aku tersadar kalau teh yang kuminum tadi ada obat tidurnya. Brengsek, bangsat, sialan Rye udah membuatku pingsan dan tak berdaya seperti ini. Aku berusaha dengan keras menggeliat dan menarik-narik tali yang mengikat kedua tanganku dan kutendang kemana-mana kakiku yang tidak terikat.

“Hmmh-hmahhmmhh-hmmm” gumamku yang pasti tidak jelas terdengar olehnya. Maksudnya aku minta dia melepasku sekarang juga, sudah pasti dia mengerti keinginanku. “Kenapa? Kamu minta dilepaskan?” katanya dan dengan cepat kuanggukkan kepalaku pertanda setuju.

“Sabar, aku belum puas main-main dengan bonekaku.”

Aku terkejut dan shock atas jawabannya, boneka? Aku dianggap semacam boneka yang bisa bebas dimainkan olehnya? Ya Tuhan, cobaan apa yang telah Kau berikan padaku. Kulihat dirinya semakin mendekatiku, dia naik diatas tempat tidur dan dengan perlahan semakin mendekatiku diatas tubuhku yang terikat, dengan senyum sinis kedua matanya tajam menatap dan melihat kedua buah dadaku. Hal yang pastinya tidak ingin payudaraku dilihat olehnya, aku meronta-ronta ketika matanya masih terpaku pada payudaraku. “Sialan, kau pikir ini pertunjukan gratis? Enak saja kau menatap penuh nafsu padaku,” pikirku dalam hati.

Kulihat jarinya perlahan dimainkan dari sela-sela dua buah payudaraku, dengan gerakan menggelitik dari pusar menuju dadaku, sentuhannya membuat bulu romaku berdiri. Perasaan apa ini, kegelian namun berbeda dari perasaan saat dikelitiki. Jantungku berdebar sangat kencang, sepertinya merah merona dari pipiku jelas terbaca olehnya. Kulihat dia tersenyum simpul tak mampu menahan gelak tawanya.

“Hahaha,” tawanya penuh goda.
“Lo belum pernah mengalami hal ini ya? Gue sih belum liat lo masih perawan apa nggak. Tapi baru sedikit disentuh saja mukamu merah padam seperti udang,” ujarnya diikuti gelak tawanya yang masih berlanjut. Sontak disaat Rye tertawa lepas, aku menendangnya dengan kuat dengan dengkul kaki kiriku yang tak terikat.

“Arkh-” jerit Rye menahan rasa sakit di tulang rusuk kanannya. Rasakan balasanku, aku mulai memakinya walaupun kutahu yang keluar dari mulut ini hanyalah suara gumaman yang tidak jelas, “hmmsaahhnmm-hmmm”

“Bangsat lo yaah. Tadinya gue akan buat lo merasakan kenikmatan, tapi dengan kelakuan nakal lo seperti ini kayaknya sedikit pelajaran perlu gue kasih buat mendidik lo,” lalu Rye dengan ganasnya meremas payudaraku yang sebelah kiri dan dia memelintir putingku yang berwarna coklat muda. Entah apa yang terjadi namun tubuh ini menggeliat dan mengejang hebat. Mataku tidak dapat menahan air mata yang mengalir jatuh mengenai kupingku.

Kepalaku tidak berhenti menoleh ke kiri dan kanan dengan cepat berharap Rye memaafkan perbuatanku tadi. Rye menatapku dengan senyum sinisnya, seakan-akan dia paham rujukanku dan menghentikan aksinya perlahan.
“Nah, lo janji jadi boneka manis? Gue akan lepas ikatan di mulut lo asal hanya kata-kata manis yang keluar dari mulut lo. Okeh?” katanya menjanjikan hal yang manis padaku, dengan segera kuiyakan dengan anggukan pelan.

Rye mendekatkan wajahnya padaku dan perlahan menjilati air mata yang tadi mengalir hingga bersih. Rasanya jijik sekali, tapi aku berusaha tetap tenang dan tidak menggubrisnya. Lalu, masih dengan jilatannya Rye berusaha melepas lakban hitam yang menempel pada kulit mulutku. Sreett, dengan menggigit pada lakban itu dengan cepat Rye menariknya, hingga rasa sakit di sekitar mulutku sangat terasa.

“BANG-”
“Hey, mau gue lakban lagi mulut lo?”
“Enggak, jangan. Iya maaf-maaf.” kataku.

Astaga, mengapa aku harus meminta maaf dalam kondisiku yang seperti ini. Ini benar-benar situasi yang tidak adil, tapi apa dayaku saat ini? Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengikuti permainannya dulu, lalu saat ada kesempatan aku akan lolos dari neraka ini.

“Bagus. Kalau lo gak banyak gerak dan menikmati permainan gue, ikatan ini bakalan lepas satu per satu.” nada ancamannya sedikit mengintimidasi diriku yang terbelenggu oleh ikatan ini. Kalau saja tak terikat seperti ini, sudah pasti akan kuhajar wajahnya hingga babak belur sampai dia sendiri tak mengenali wajahnya.

Dengan masih menggunakan handuk, dia duduk di pangkal bawah perutku. Yang kurasakan sekarang sedikit rasa aneh karena kusadari dibalik handuknya dia tidak memakai sehelai pakaian pun termasuk celana dalam.

“Argh- ahahaha geli! Taik, jangan duduk di situ, gue gak tahan rasanya geli,” teriakku sambil meronta ke kiri dan kanan berharap dirinya jatuh ke samping.
Lalu kudengar dia tertawa terpingkal-pingkal sambil masih mencoba bertahan tidak terjatuh dan mendudukiku di area itu, “Ya ampun, lo sensitif banget yaa? Hmm, benar-benar menarik! Sangat menarik, hehe.” kata-katanya begitu menakutkan dan mengintimidasi, apalagi yang ada di pikirannya? Mau apa sebenarnya wanita ini yang berbuat hal seperti ini padaku.

“Mau lo apa sih? Kumohon, lepasin gue! Salah gue apa sama lo?” kataku berharap dia mendengar permohonanku dan melepaskan ikatan ini.

“Ck-ck-ck. Salah? Nggak ada yang salah kok. Cuman salahnya kenapa lo masuk dalam hidup gue? Itu aja sih.” Rye menjelaskan.

“Hidup lo? Maksudnya? Kan kita rekan kerja, jadi kenapa itu harus jadi salah gue? Lo dulunya bikin hidup gue nggak nyaman di kantor! Gue pikir lo benci gue karna gue ambil posisi lo, tapi gue pikir kita udah settle this. Karna lo ngakunya gak masalah sama posisi gue sekarang, terus sekarang lo mau balas dendam sama gue?” teriakku tidak terima dengan perlakuan dan perkataannya.

“Balas dendam? Hahaha…” Terpingkal dari tawanya tiba-tiba dengan cepat dia meraih rahangku dengan tangan kanannya dan mendekatkan wajahnya yang menyeramkan semakin dekat dengan wajahku.

“Kalau gue mau balas dendam, dari dulu lo udah ‘gak ada di kantor, sayang. Seperti yang gue bilang tadi dari awal, lo cantik makanya gue suka. Satu-satunya hal yang gue inginkan sekarang adalah menikmati tubuh boneka yang ada di depan mata gue, hmm rasanya pasti manis bagaikan menjilati madu.” katanya sambil berbisik dan mendesah seraya menjilati pipiku hingga membuatku bergidik jijik dengan perlakuannya.

“Ngomong-ngomong soal madu, gue baru inget kalau gue simpen sedikit di lemari es. Tunggu yang manis ya sayang, permainan baru aja mau dimulai.” kata Rye dan bergegas dirinya turun dari tubuhku dan menghilang keluar kamar.

***

“Dasar wanita gila!” kuharap makianku tak terdengar olehnya. Inilah kesempatanku untuk kabur dari sini dengan segera. Aku tahu kesempatannya kecil, tapi mulutku tak di-lakban jadi aku bisa leluasa melepas ikatannya menggunakan gigiku. Simpul ikatannya begitu kuat, aku tak tahan dengan posisi seperti ini dan kuharap usahaku tidak sia-sia, kuraih ikatan di tangan kananku dan aku terus berusaha menarik simpul berharap talinya bisa longgar atau lepas.

“Lo nakal lagi yaa.” sungguh kata-katanya sangat mengagetkanku, dengan segera aku menolehnya dan dia sudah berdiri di depan pintu memperhatikanku diam-diam sambil memegangi toples berisi madu.

“Kayaknya lo belum belajar jadi boneka yang diam manis, sepertinya gue perlu kasih pelajaran lagi buat lo.”

“Rye, kumohon lepasin ikatannya. Pergelangan tanganku sakit, ikatannya terlalu kuat. Tanganku kesakitan nih. Aku janji nggak akan kabur darimu. Sumpah.” Kulontarkan permohonan dan kebohongan kecil disertai gestur senyuman manis yang dipaksakan seperti peliharaan yang menunggu dengan manis tuannya telah datang, hal lain yang kutahu permohonan bohong ini sudah pasti takkan di gubris olehnya.

“Heh. Sejak kapan lo-gue jadi aku-kamu? Hahaha, sumpah gue kaget kalau lo udah berubah dengan sekejap karena posisi lo yang kayak gini? Kenapa? Trik psikologi lo ga akan berhasil menipu gue, semua orang di kantor termasuk Luisa udah lo tipu dengan daya muslihat dan segala macam trik lo yang bikin lo bebas semaunya.” tak bisa kupungkiri perkataan Rye yang sekarang memang ada benarnya, tapi kata-katanya benar-benar menohok jiwa bagaikan pisau-pisau yang banyak tertanam di seluruh tubuhku.

“Gue akui kalau lo emang cewek yang cerdas dan hanya satu-satunya orang yang bisa bikin gue kehilangan akal sehat karena perbuatan yang lo buat sendiri.”

“Hilang akal sehat? Maksud lo?” tanyaku yang masih bingung dengan perkataannya yang tidak kumengerti sama sekali.

“Lo ingat waktu pertama kali kita ketemu?” katanya mencoba mengingatkan.

“Hah, pertama kali ketemu? Memangnya ada masalah waktu Luisa pertama kali ngenalin lo ke gue?” tanyaku yang masih mencoba mengingat-ingat pertemuan biasa pertama kali yang tidak ada masalah.

“Apa? Jadi lo benar-benar lupa dua hari sebelum kita berkenalan yaa?” kata Rye menjelaskan.

“Dua hari? Kapan?”

“Gue rasa, lo perlu gue ingatkan kembali.”

Dengan cepat, Rye meletakkan madu dari tangannya di meja samping tempat tidur dan kembali dirinya naik perlahan ke atas tempat tidur.

“Hey, lo mau ngapain?” tanyaku bingung.
Rye dengan segera membelai rambutku setelah memposisikan tubuhnya kembali diatas tubuhku. Mataku sejajar dengan matanya, dia mengangkat kepalaku hingga cukup dekat dengan wajahnya.

“Mau lo–“

Smooch-, bibir kami saling bersentuhan. Aku benar-benar terperanjat dengan aksinya, dengan cepat aku meronta berharap dia segera berhenti dengan ciumannya. Setelah beberapa saat Rye menghentikan aksinya dan tak pelak air mata kembali berlinang di pipiku.

“Astaga, cewek tough sepertimu bisa nangis ternyata.” ejekannya membuatku membisu.

“Heran, padahal waktu itu lo ngelakuin hal yang sama ke gue. Bahkan lebih passionate,” ucapannya membuatku bergidik ingin berontak dari tuduhannya.

“Bohong! Gue ga pernah ngelakuin hal ini ke lo, berpikiran melakukannya aja udah hal yang menjijikkan buat gue! Bangsat, lo jangan menuduh yang macam-macam ya…,” bentakanku diikuti dengan tamparannya yang cukup keras hingga membuatku terdiam.

***

bersambung, silahkan komentar atau sarannya. Maaf, ceritanya bukan untuk anak usia dibawah 18 tahun karena penggunaan kata-kata kasarnya cukup signifikan.

Tinggalkan komentar